BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai induk dari Community Development (CD), di cetuskan di Amerika Serikat pada tahun 1930-an sebagai usaha untuk melindungi buruh dari penindasan yang di lakukan perusahaan. Saat ini banyak definisi yang menjelaskan makna CSR, yang juga terus berubah seiring berjalannya waktu. CSR antara lain di definisikan sebagai komitmen yang berkesinambungan dari kalangan bisnis, untuk berperilaku secara etis dan memberi kontribusi bagi perkembangan ekonomi, seraya meningkatkan kualitas kehidupan dari karyawan dan keluarganya, serta komunitas lokal dan masyarakat luas pada umumnya (CSR: Meeting Changing Expectations, 1999).
Bagi negara berkembanag, ada masalah yang lebih menonjol yang perlu di atasi, yaitu keterbelakangan dan kemelaratan. M. Dawam Raharjo berpendapat, masalah terpokok dan mendasar yang meyangkut kehidupan rakyat banyak saat ini adalah kemiskinan, yang sering juga disebut sebagai masalah kemiskinan struktural. Juga dapat dikatakan sebagai masalah yang diakibatkan oleh sistem yang eksploitatif, yang bersifat menghisap.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Pengembangan Masyarakat (community development).
2. Nilai-nilai dalam community development.
3. Prinsip dalam community development.
4. Pendekatan dan model-modelnya.
BABII
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian Community Development
Pengembangan masyarakat memiliki sejarah panjang dalam literatur dan praktik pekerjaan sosial.[1]Menurut Johnson (1984), PM merupakan spesialisasi atau setting praktek pekerjaan sosial yang bersifat makro (macro practice).
Menurut Edi Suharto dan Dwi Yuliani, community development adalah suatu pendekatan dalam meningkatkan kehidupan masyarakat melalui pemberian kekuasaan pada kelompok-kelompok masyarakat agar mampu membuat, menggunakan dan mengontrol sumber-sumber yang ada di lingkungan mereka.[2]
Sebagai sebuah metode pekerjaan sosial, pengembangan masyarakat menunjuk pada interaksi aktif antara pekerja sosial dan masyarakat dengan mana mereka terlibat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi suatu program pembangunan kesejahteraan sosial. Pengembangan masyarakat memiliki fokus terhadap upaya menolong anggota masyarakat yang memiliki kesamaan minat untuk bekerja sama, mengidentifikasi kebutuhan bersama dan kemudian melakukan kegiatan bersama untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Secara teoritis, pengembangan masyarakat (PM) dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan pekerjaan sosial yang dikembangkan dari dua perspektif yang berlawanan, yakni aliran kiri (sosialis-Marxis) dan kanan (kapitalis-demokratis) dalam spektrum politik. Dewasa ini, terutama dalam konteks menguatnya sistem ekonomi pasar bebas dan“swastanisasi” kesejahteraan sosial, PM semakin menekankan pentingnya swadaya dan keterlibatan informal dalam mendukung strategi penanganan kemiskinan dan penindasan, maupun dalam memfasilitasi partisipasi dan pemberdayaan masyarakat.
Secara garis besar, Twelvetrees (1991) membagi perspektif PM ke dalam dua bingkai, yakni pendekatan “profesional” dan pendekatan “radikal”. Pendekatan profesional menunjuk pada upaya untuk meningkatkan kemandirian dan memperbaiki sistem pemberian pelayanan dalam kerangka relasi-relasi sosial. Sementara itu, berpijak pada teori struktural neo-Marxis, feminisme dan analisis anti-rasis, pendekatan radikal lebih terfokus pada upaya mengubah ketidakseimbangan relasi-relasi sosial yang ada melalui pemberdayaan kelompok-kelompok lemah, mencari sebab-sebab kelemahan mereka, serta menganalisis sumber-sumber ketertindasannya.
Selajutnya pendekatan professional dan radikal bias dipecah menjadi enam ragam sesuai jenisnya yaitu perawatan masyarakat, pengorganisasian masyarakat, pembangunan masyarakat, aksi masyarakat berdasar kelas, aksi masyarakat berdasar jender dan aksi mayarakat berdasar ras.[3]
B. Nilai dalam Pemberdayaan Masyarakat Islam
Kegagalan program pemberdayaan masyarakat baik yang dikerjakan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dunia usaha dan masyarakat sendiri dikarenakan nilai-nilai normatif yang sedianya diimplementasikan dalam kegiatan tersebut tidak berjalan. Banyak program pemberdayaan masyarakat yang tidak memiliki dampak apa-apa karena adanya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pelaksanaannya.
Nilai-nilai yang melandasi pemberdayaan masyarakat islam yaitu:
1. Nilai kejujuran (transparansi), nilai ini harus melekat pada setiap insan-insan yang mengelola atau terlibat dalam kegiatan pemberdayaan tersebut karena sebagai dasar untuk mewujudkan keberhasilan program tersebut.
2. Nilai keadilan, keadilan berarti bahwa pelaksananan pemberdayaan masyarakat tersebut memberikan peluang yang sama kepada seluruh kelompok sasaran baik secara teknis maupun penguatan kapasitasnya. Adil dan merata adalah nilai yang perlu ditanamkan dalam kegiatan tersebut. Misal dalam pembagian dana. Sebagaimana dikatakan Allah SWT dalam alqur’an pada surat Al-Maidah ayat 8.
3. Nilai kepercayaan (trust), kepercayaan barati bahwa pelaksana maupun kelompok sasaran yang akan diberdayakan dapat di percaya untuk turut terlibat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat.
4. Nilai kebersamaan dan saling tolong menolong, melalui kebersamaan, kompleksitas dari permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam pemberdayaan masyarakat akan terasa ringan dan mudah untuk dilaksankannya.
5. Nilai kepedulian, kepedulian berarti komitmen yang tinggi dari anggota masyarakat yang lain untuk secara sadar berbagi dengan anggota masyarakat yang lainnya. Berbagi disini dapat berupa material maupun non-mateial. Dalam ajaran islam sendiri-pun sangat dianjurkan untuk dilakukan umatnya. Dalam alqur’an kata ‘shadaqah’ diulang-ulang sampai dua ratus kali.
6. Nilai berorientasi kepada masa depan, pengembangan masyarakat islam menitikberatkan pada kehidupan masa depan, dimana bumi tempat kita berpijak merupakan titipan anak cucu kita, berati kekayaan sumber daya alam tidak boleh diambil semua oleh kita yang sekarang ini.
C. Prinsip-prinsip dalam Community Development
1. Partisipasi.
Partisipasi adalahsuatu gejala demokrasi dimana orang diikut sertakan atau mereka benar-benar berpartisipasi dari mulai suatu perencanaan, pelaksanaan sampai dengan monitoring serta evaluasi program tersebut,[4]sehingga masyarakat memilki tanggung jawab yang besar karena sejak awal sudah terlibat dalam program tersebut.
Sanoff mengatakan bahwa tujuan utama dari partisipasi masyarakat adalah:[5]
a. Melibatkan masyarakat dalam mendesain proses pengambilan keputusan dan dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka.
b. Menyalurkan masyarakat dalam meningkatkan mutu atau kualitas dari perencanaan tersebut untuk tujuan bersama.
Gaventa dan Valderama (1999) dalam Arsito (2004), mencatat ada tiga tradisi konsep partisipasi terutama bila dikaitkan dengan pembangunan masyarakat yang demokratis yaitu: 1) partisipasi politik Political Participation, 2) partisipasi sosial Social Participation dan 3) partisipasi warga Citizen Participation/Citizenship, ke tiga hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :[6]
1). Partisipasi Politik, political participation lebih berorientasi pada ”mempengaruhi”dan ”mendudukan wakil-wakil rakyat” dalam lembaga pemerintahan ketimbang partisipasi aktif dalam proses-proses kepemerintahan itu sendiri.
2). Partisipasi Sosial, social Participation partisipasi ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang sebagai beneficiary atau pihak di luar proses pembangunan dalam konsultasi atau pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek pembangunan dari evaluasi kebutuhan sampai penilaian, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Partisipasi sosial sebenarnya dilakukan untuk memperkuat proses pembelajaran dan mobilisasi sosial. Dengan kata lain, tujuan utama dari proses partisipasi sosial sebenarnya bukanlah pada kebijakan publik itu sendiri tetapi keterlibatan komunitas dalam dunia kebijakan publik lebih diarahkan sebagai wahana pembelajaran dan mobilisasi sosial.
3). Partisipasi Warga, citizen participation/citizenship menekankan pada partisipasi langsung warga dalam pengambilan keputusan pada lembaga dan proses kepemerintahan. Partisipasi warga telah mengalihkan konsep partisipasi “dari sekedar kepedulian terhadap ‘penerima derma’ atau ‘kaum tersisih’ menuju ke suatu kepedulian dengan berbagai bentuk keikutsertaan warga dalam pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan di berbagai gelanggang kunci yang mempengaruhi kehidupan mereka”. Maka berbeda dengan partisipasi sosial, partisipasi warga memang lebih berorientasi pada agenda penentuan kebijakan publik oleh warga ketimbang menjadikan arena kebijakan publik sebagai wahana pembelajaran.
Tahap-TahapPartisipasi
a. Tahap Perencanaan
Partisipasi dalam tahap perencanaan merupakan tahapan yang paling tinggi tingkatannya di ukur dari derajat keterlibatannya. Dalam tahap perencanaan, orang sekaligus diajak turut membuat keputusan yang mencakup merumusan tujuan, maksud dan target.
b. Tahap Pelaksanaan
Pada tahap ini , anggota masyarakat adalah ikut serta dalam pelaksanaan program yang telah di rencanakan sebelumnya. Warga masyarakat aktif sebagai pelaksana maupun pemanfaat program.
c. Tahap Pelembagaan Program
Anggota masyarakat ikut serta merumuskan keberlanjutan programnya, agar mereka dapat berbuat, berkarya, dan bekerja bagi kesinambungan program itu.
d. Tahap Monitoring dan Evaluasi
Masyarakat ikut serta mengawasi pelaksanaan program agar program pemberdayaan tersebut dapat memiliki kinerja yang baik secara administratif maupun substantif.
2. Pengertian Akuntabilitas dan Transparansi.
Akuntabilitas di maknai sebagai pertanggung jawaban suatu lembaga kepada publik atas keberhasilan maupun kegagalan melaksanaan misi atau tugas yang telah di embannya. Prinsip akuntabilitas menjadi penting dalam pemberdayaan masyarakat, hal ini di maksudkan agar dampak dari kegiatan tersebut dapat di rasakan oleh mereka yang menjadi kelompok sasaran yang di berdayakan.
Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan kegiatan pemberdayaan, yakin informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai.[7]Transparansi berarti terbukanya akses bagi seluruh masyarakat terhadap semua informasi yang terkait dengan kegiatan.
3. Demokratis dan Sensitive Gender.
Menurut Joseph A. Schmeter, demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas secara rakyat. Prinsip demokrasi dalam pemberdayaan berarti pelaksanaannya harus dapat mendengarkan aspirasi dari seluruh stakeholder dalam kegiatan tersebut.
Keterwakilan perempuan dalam kegiatan tersebut menjadi penting karena perempuan di posisikan sebagai pelaku atau subyek dari program. Dimana pemberdayaan itu menyangkut di dalamnya adalah juga memberdayakan kaum perempuan. Perlibatan perempuan di maksudkan untuk membangun keseimbangan dari segi hak maupun kewajiban sebagai warga. Disisi lain, pengabaian terhadap hak-hak perempuan merupakan bentuk pengingkaran terhadap demokrasi.
4. Keberlanjutan (Sustainability) atau Kemandirian
Yang di maksud kemandirian disini adalah kemampuan masyarakat untuk tetap berjalan denga baik melaksanakan berbagai programnya tanpa harus bergantung kepada berbagai pihak lain di luar dirinya. Sedangkan yang dimaksud dengan keberlanjutan lembaga di sini adalah kemampuan masyarakat untuk tetap bertahan terus menerus melaksanakan seluruh programnya. Untuk meningkatkan kemandirian dan keberlanjutan lembaga perlu dikembangkan system pendanaan yang lebih mandiri dan berkelanjutan, meningkatkan kemampuan lembaga dalam melakukan inovasi inovasi program, membangun system manajemen yang baik, melakukan pelatihan dan pengembangan personalia yang baik dan melakukan kaderisasi kepemimpinan.
D. Pendekatan dalam Pengembangan atau Pembangunan Masyarakat
1. Improvement (Perbaikan) vs Transformation
Sebagaimana di ketahui, salah satu unsur yang cukup esensial dari proses pembangunan masyarakat adalah adanya proses perubahan. Perubahan yang di maksud dapat merupakan perubahan alami yang tumbuh dari dinamika masyarakat sendiri, dapat pula merupakan perubahan yang terencana. Sebagai perubahan yang terencana, pada umumnya dikenal adanya target atas perubahan yang diharapkan. Di lihat dari target perubahan yang di kehendaki apakah merupakan perubahan yang sekedar perbaikan dalam segi kehidupan tanpa harus merombak sistem dan struktur yang ada, ataukah merupakan perubahan yang cukup fundamental sampai pada perubahan struktur dan transformasi sistem baru, pendekatan pembangunan masyarakat dapat di bedakan menjadi improvement approach dan transformation approach.[8]Jika di lihat dari cara perubahannya, terdapat perbedaan di antara kedua kutub pendekatan tersebut, yaitu terletak pada sikapnya terhadap eksistensi dan struktur sosial yang ada.
Dalam improvement approach, misalnya dalam sektor pertanian pendekatan ini di maksudkan sebagai usaha untuk memperbaiki secara berangsur-angsur cara kerja pertanian dan pertenakan tanpa perubahan radikal dalam sistem sosial tradisional guna meningkatkan produktifitas. Pendekatan ini dibutuhkan adanya tenaga penyuluh atau petugas lapangan lain untuk memberikan pelayanan di sekitar pengenalan teknologi dan cara kerja baru tersebut. Oleh karena dalam itu, perubahan dengan pendekatan ini di harapkan bukan dalam bentuk transformasi struktural, tetapi perubahan dalam cara dan sistem produksi yang mengandalkan pada inovasi ide-ide baru dalam peningkatan produktivitas.
Transformation approach, pendekatan ini lebih mendasar ke perubahan yang di rencanakan bukan perubahan secara alami. Berdasarkan kriterianya , pendekatan ini dapat di bedakan menjadi tiga, yaitu; model intervensi rendah (model produktivitas), model intervensi menengah (model solidaritas), dan model intervensi tinggi (model pemerataan).
a. Model Intervensi Rendah ( Model Produktivitas)
Adalah upaya pembangunan yang di tunjukan untuk meningkatkan produktivitas (pertanian) tanpa memandang perlu melakukan perubahan-perubahan pernting. Model ini di landasi oleh diagnosis yang beranggapan bahwa penyebab utama keterbelakangan pedesaan adalah langkanya teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas dan rendahnya pengetahuan. Dalam uraian sebelumnya model ini di sebut sebagai improvement approach.
b. Model Intervensi Menengah (Model Solidaritas)
Pendekatan ini didasarkan pada anggapan bahwa penyebab pokok keterbelakangan pedesaan adalah kemerosotan dan degenerasi masyarakat desa serta langkahnya lembaga-lembaga desa yang dapat meningkatkan peran aktif penduduk desa.
c. Model Intervensi Tinggi (Model Pemerataan)
Merupakan upaya pembangunan yang bertujuan mempersempit ketidakmerataan sosial, ekonomi dan kebudayaan serta mempersempit kegiatan-kegiatan ekonomi penduduk desa kaya yang dapat merugikan kepentingan lapisan penduduk berpenghasilan rendah. Dalam model ini di klasifikasikan sebagai transformation approach.
2. Proses vs Hasil Material
Pendekatan yang pertama seringkali disebut sebagai pendekatan yang mengutamakan proses dan lebih menekankan aspek manusianya, sedang pendekatan yang kedua yang disebut sebagai pendekatan yang mengutamakan hasil material dan lebih menekankan pada target.[9]Pembangunan masyarakat yang mementingkan hasil material (task conception)lebih menekankan pada hasil nyata yang terwujud seperti rumah sakit baru, gedung sekolah baru, dan sebagainya, sedangkan pembangunan masyarakat yang mementingkan proses menekankan pada tujuan yang lebih abstrak dan lebih mandiri.
Menurut pendekatan ini, pembangunan masyarakat adalah proses menuju suatu kondisi dimana masyarakat menjadi semakin kompeten dan sensitif dalam menggapai persoalan-persoalan baik di lingkungannya maupun dengan masyarakat makronya. Prosesnya adalah berjalan secara bertahap dan kumulatif, dalam tahap yang mebih lanjut akan meningkatkan kepekaan semakin tinggi yang di wujudkan dalam prakarsa, kreativitas, dan partisipasi yang semaikn meningkat.
Mekanisme semacam ini mempunyai beberapa kekuatan atau kelebihan. Dengan berorientasi pada proses, maka mekanisme pembangunan masyarakat lebih bersifat mendidik karena mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa, dan tanggung jawab sosial warga masyarakat. Pendekatan ini cenderung melibatkan lebih banyak orang yang berarti lebih banyak pendapat dan kepentingan yang berbeda, sehingga proses pengambilan keputusannya akan lebih sulit dan rumit.
Beberapa kasus empirik tentang pelaksanaan pendekatan ini menunjukkan, bahwa seringkali waktu yang di butuhkan untuk proses memotivasi sampai timbul niat yang di dasarkan pada tannggung jawab sosial untuk melaksanakan suatu aktivitas pembangunan tertentu jauh lebih lama di bandingkan pelaksanaan pembangunan fisiknya sendiri. Metode semacam ini sreing dianggap kurang cocok untuk di terapkan dalam masyarakat yang karena kondisinya memerlukan adanya perubahan-perubahan fisik yang sangat cepat.
Sebaliknya, pembangunan masyarakat yang mementingkan hasil material dianggap lebih menjanjikann perubahan-perubahan konkret secara cepat. Dengan perubahan tersebut masyarakat akan lebih cepat dapat mengejar ketinggalannya. Dalam hal ini perubahan sikap dan motivasi dianggap akan dapat berlangsung dengan sendirinya, menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan fisik dan material yang terjadi. Pendekatan ini juga sering di lihat mempunyai beberapa kelemahan, terutama karena melalui metode ini perubahan lebih banyak terjadi sebagai akibat inisiatif dari atas atau dari luar, dan lebih berorientasi pada target, khususnya target fisik. Keterlibatan masyarakat lebih di sebabkan oleh adanya mobilisasi bukan partisipasi yang di dorong atas determinasi dan kesadaran yang diperoleh melalui proses yang bertahap. Dari hal-hal seperti itu, maka sering dikatakan bahwa pendekatan ini kurang bersifat mendidik, karena kurang melibatkan peran serta masyarakat dalam pelaksanaan dan menikmati hasil. Pada umunya masyarakat hanya terlibat dalam pelaksanaannya saja.
3. Selfhelp vs Technocratic
Pendekatan pembangunan masyarakat yang mengutamakan sumber, potensi dan kekuatan dari dalam biasa disebut dengan selfhelp approach. Pendekatan ini didasarkan pada prinsip demokrasi dan prinsip menentukan nasib sendiri.[10]Prinsip yang digunakan adalah pembangunan yang bersifat humanis yang mengakui keberadaan manusia sebgai makhluk yang aktif dan kreatif.
Masyarakat sering dijumpai berbagai hambatan bagi pengembangan potensi tersebut, seperti sikap fatalisme, ketergantungfann dan sikap kurang percaya pada kemampuan sendiri. Dengan demikian yang perlu dilakukan adalah menghilangkan hambatan tersebut dengan membagnkitkan kegairahan dan hasrat serta kepercayaan akan kemampuan sendiri, dari perorangan maupun kelompok atau masyarakat.
Melalui pendekatan ini, diharapkan masyarakat sendiri yang; menentukan apa yang menjadi kebutuhannya, menentukan sendiri apa yang harus dilakukan untuk memenuhinya, dan melaksanakan sendiri langkah yang sudah diputuskan[11]. Dengan langkah tadi secara bertahap akan membawa dampak positif bagi tumbuhnya kemandirian yang semakin meningkat.
Berbeda dengan pendekatan self-help, pendekatan technocratic lebih banyak didasrakan pada asumsi bahwa masyarakat di negara-negara sedang berkembang terutama masyarakat desanya, hanya mungkin melaksanakan perubahan dan pembaharuan, apabila dimulai suatu tindakan, suatu intervensi dari pihak luar, berupa suatu tindakan memperkenalkan bahkan memaksakan penerpan suatu tindakan teknologi produksi yang modern.[12]Pendekatan ini sering disebut dengan pendekatan technical assistancedalam banyak hal memang dianggap sebagai kebalikan dari pendekatan self-help.[13]Dengan cara demikian, pendekatan ini dianggap mempunyai kelebihan terutama mengejar ketinggalan khususnya dilihat dari aspek ekonomi dan peningkatan produktivitas. Dapat dikatakan bahwa apabila pendekatan self-helpdikembangkan dengan menggunakan prinsip pembangunan yang bersifat humanis, maka pendekatan technical assistance dikembangkan melalui prinsip pembangunan yang bersifat teknokratis. Pendekatan ini pun dinilai tidak terlepas dari kelemahan. Beberapa kelemahan yang sering dijumpai adalah:
a. Kebutuhan dana yang cukup besar untuk pelaksanaan alih tekonologi dan skill beserta instrumen pendukungnya,
b. Dibutuhkan lebih banyak tenaga penyuluh dan tenaga teknis dalam pelaksanaannya,
c. Program-program yang dirancang belum tentu relevan dengan permasalahan masyarakat yang bersangkutan,
d. Mekanisme pembangunan yang dilaksanakan melalui pendekatan ini dianggap kurang mendidik dan kurang mengembangkan prakarsa serta potensi lokal.
4. Uniformitas (Keseragaman) vs Variasi Lokal
Pendekatan yang lebih menitikberatkan pada keseragaman biasanya diwujudkan dalam bentuk program-program pembangunan masyarakat yang dirancang tingkat pusat, kemudian diterapkan di seluruh masyarakat desa yang ada tanpa memerhatikan perbedaan karakteristik masing-masing desa. Oleh karena itu, pendekatan ini sreing disebut dengan blueprint approach,[14] dalam pelaksanannya cenderung menjadi bersifat tralistik dan top down. Alasan yang dikemukakan bagi pengguna pendekatan ini adalah masalah efisiensi, kemudahan dalam kontrol pelaksanaan, adanya kepastian program dalam penyusunan perencanaan.
Pendekatan ini dapat tidak efisien di masyarakat jika tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat lokal tersebut. Dari sifatnya yang top down, sebaiknya program itu dilihat sampai ke bawah, masyarakat lokal boleh dikatakan sekedar sebagai konsumen program, karena mereka tinggal menerima dalam bentuk jadi dan tidak terlibat dalam perumusannya, sehingga timbulah rasa kurang tanggung jawab dalam mengejar keberhasilannya. Hal itu disebabkan karena adanya mobilisasi, bukan partisipasi yang di dorong oleh determinasi dan kesadaran. Pengertian orientasi pembangunan harus didasarkan pada aspirasi masyarakat yang berangkat dari kondisi, permasalahan dan kebutuhan yang dapat berbeda antara lingkungan masyarakat satu dengan lainnya.
Pendekatan yang lebih bersifat pada seragam yang sering disebut dengan uniformitas, maka pendekatan yang menekankan variasi lokal ini lebih bersifat adaptif, fleksibel, dan melalui proses belajar.[15]Proses sosial belajar ini tidak berlaku pada masyarakat lokal saja, tetapi untuk tugas lapangan dari berbagai institusi baik pemerintah maupun yang non.
Pendekatan terakhir ini lebih memberikan peluang bagi partisipasi masyarakat dalam keseluruhan proses pembanguan masyarakat. Hal ini lebih menjamin yang bersangkutan dari proses pembangunan komunitas dan mengurangi ketergantungan dari luar.
E. Model-model Pengembangan Masyarakat
Jack Rothman dalam karya klasiknya yang terkenal, Three Models of Community Organization Practice (1968), mengembangkan tiga model yang berguna dalam memahami konsepsi tentang PM: (1) Pengembangan masyarakat lokal (locality development); (2) Perencanaan sosial (social planning); dan (3) Aksi sosial (social action). Mengacu pada dua perspektif yang dikemukakan Mayo diatas, model pertama dan kedua lebih sejalan dengan perspektif profesional, sedangkan ketiga lebih dekat dengan perspektif radikal.
1. Pengembangan Masyarakat Lokal
Adalah proses yang ditujukan untuk menciptakan kemajuan sosial dan ekonomi bagi masyarakat melalui partisipasi aktif serta inisiatif anggota masyarakat itu sendiri. Pengembanagan masyarakat lokal pada dasarnya merupakan proses interaksi antara anggota masyarakat stempat yang di fasilitasi oleh pekerja sosial. Pengembangan masyarakat lokal lebih berorientasi pada “tujuan proses” (proses goal) daripada tujuan tugas atau tujuan hasil (task or product goal). Pengembangan kepemimpinan lokal, peningkatan strategi kemandirian, peningkatan informasi, komunikasi, relasi dan keterlibatan anggota masyarakat merupakan inti dari proses pengembangan masyarakat lokal yang bernuansa bottom-up ini.
2. Perencanaan Sosial
Perencanaan sosial di sini menunjuk pada proses pragmatis untuk menentukan keputusan dan menetapkan tindakan dalam memecahkan masalah sosial tertentu seperti kemiskinan, pengangguran, kenakalan remaja, kebodohan (buta huruf), kesehatan masyarakat buruk (rendahnya usia harapan hidup, tingginya tingkat kemtian bayi, kekurangan gizi) dll. Berbeda dengan pengembangan masyarakat lokal, perencanaan sosial lebih berorientasi pada“tujuan tugas” (task goal). Pekerja sosial berperan sebagai perencanaan sosial yang memandang mereka sebagai “konsumen” atau “penerima layanan”(beneficiaries). Keterlibatan para penerima layanan dalam proses pembuatan kebijakan, penentuan tujuan, dan pemecahan masalah bukan merupakan prioritas, karena pengambilan keputusan dilakukan oleh para pekerja sosial di lembaga-lembaga formal, misal lemabaga kesejahteraan sosial pemerintah (Depsos) atau swasta (LSM).
3. Aksi Sosial
Tujuan dan sasaran utama aksi sosial adalah perubahan-perubahan fundamental dalam kelembagaan dan struktur masyarakat melalui proses pendistribusian kekuasaan (distribution of power), sumber (distribution of resources) dan pengambilan keputusan (distribution of decision making). Pendekatan aksi sosial didasari suatu pandangan bahwa masyarakat adalah sistem klien yang sreingkali menjadi ‘korban’ ketidakadilan struktur. Mereka miskin karena dimiskinkan, mereka lemah karena dilemahkan, dan tidak berdaya karen tidak diberdayakan oleh kelompok elit masyarakat yang menguasai sumber-sumebr ekonomi, politik,dan kemasyarakatan. Aksi sosial beroriemtsi baik pada tujuan proses dan tujuan hasil. Masyarakat diorganisir melalui proses penyadaran, pemberdayaan dan tindakan-tindakan aktual untuk mengubah struktur kekuasaan agar lebih memenuhi prisip demokrasi, kemerataan (equality) dan keadilan (equity).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut Edi Suharto dan Dwi Yuliani, community development adalah suatu pendekatan dalam meningkatkan kehidupan masyarakat melalui pemberian kekuasaan pada kelompok-kelompok masyarakat agar mampu membuat, menggunakan dan mengontrol sumber-sumber yang ada di lingkungan mereka
Sebagai sebuah metode pekerjaan sosial, pengembangan masyarakat menunjuk pada interaksi aktif antara pekerja sosial dan masyarakat dengan mana mereka terlibat dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi suatu program pembangunan kesejahteraan sosial.
Banyak program pemberdayaan masyarakat yang tidak memiliki dampak apa-apa karena adanya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam pelaksanaannya, karena tidak dilandasi adanya nilai-nilai pemberdayaan masyarakat.
[1]. Payne, 1995; Suharto, 1997.
[2]. Edi Suharto dan Dwi Yuliani,Analisis Jaringan Sosial, hal 1.
[3] . Edi Suharto, hal 41-42.
[4] . http://id.wikipedia.org/wiki/Partisipasi
[5] . Henry Sanoff (2000). Community Particiption Method in Design and Planning. Toronto: John Wiley dan Sons Inc
[6] . http://eeqbal.blogspot.com/2007/12/metode-perencanaan-partisipatif-dalam.html
[7]. Buku Pedoman Penguatan Pengamanan Program Pembangunan Daerah. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional & Departemen Dalam Negeri. 2002. Hlm 18.
[8] . Long, 1977:144
[9].Batten, 1969:69
[10]. Lyon, 1987:116
[11].Lyon, 1987:115
[12]. Combs dan Ahmed, 1980:105
[13]. Lyon, 1987:119
[14].Korten dan Sjahrir, 1988:241
[15].Honadle and VanSant, 1985:92
Komentar
Posting Komentar